Kejujuran Berbisnis Dalam QS. Al-Isra’ : 35 dan QS. An-Nisa’ : 58


A. TAFSIRAN QS. Al-ISRA AYAT 35

QS. Al-Isra ayat 35

وَأَوْفُوا۟ ٱلْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا۟ بِٱلْقِسْطَاسِ ٱلْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيل

Atinya : Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

1. Tafsir Kemeneg

Tafsir QS. Al Isra’ ayat 35 oleh Kementrian Agama RI :

Selanjutnya Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar menyempurnakan takaran bila menakar barang dagangan. Maksudnya ialah pada waktu menakar barang hendaknya dilakukan dengan setepat-tepatnya dan secermat-cermatnya. Oleh karena itu, seseorang yang menakar barang dagangan yang akan diserahkan kepada orang lain sesudah dijual tidak boleh dikurangi takarannya karena merugikan orang lain. Demikian pula kalau seseorang menakar barang dagangan orang lain yang akan ia terima sesudah dibeli, tidak boleh dilebihkan, karena juga merugikan orang lain. Allah juga memerintahkan kepada mereka agar menimbang barang dengan neraca (timbangan) yang benar dan sesuai dengan urged yang ditetapkan. Neraca yang benar ialah neraca yang dibuat seteliti mungkin, sehingga dapat memberikan kepercayaan kepada orang yang melakukan jual beli, dan tidak memungkinkan terjadinya penambahan dan pengurangan secara curang. Allah mengancam orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan ini dengan ancaman keras. 

2. Tafsir Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, jangan mengurangi takaran untuk orang atau melebihkannya untuk dirimu, dan timbanglah dengan timbangan yang benar sesuai dengan ukuran yang ditetapkan. Itulah yang lebih utama bagimu, karena dengan demikian orang akan percaya kepadamu dan tenteram dalam bermuamalah denganmu dan lebih baik akibatnya bagi kehidupan manusia pada umumnya di dunia dan bagi kehidupanmu di akhirat kelak. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Jangan mengatakan sesuatu yang engkau tidak ketahui, jangan mengaku melihat apa yang tidak engkau lihat, jangan pula mengaku mendengar apa yang tidak engkau dengar, atau mengalami apa yang tidak engkau alami. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, adalah amanah dari tuhanmu, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya, apakah pemiliknya menggunakan untuk kebaikan atau keburukan’.

3. Tafsir As-Sa’di

Dari keumuman maknanya dapat disimpulkan, larangan berbuat curang atau menipu (ghisy) baik pada uang yang dibayarnya, barangnya maupun pada ‘akadnya, dan perintah memiliki sifat nus-h (tulus) serta jujur dalam bermuamalah. Dengan melakukan hal tersebut, maka seorang hamba akan selamat dari pertanggungjawaban dan akan mendapatkan keberkahan dalam hartanya.

4. Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar untuk orang lain dan jangan menguranginya, dan timbanglah dengan timbangan yang jujur lagi tidak mengurang-nguranginya, sebab penyempurnaan takaran dan timbangan tersebut lebih baik bagi kalian di dunia dan di Akhirat kelak, dan lebih baik ganjarannya daripada sikap curang dengan mengurangi takaran atau timbangan.

5. Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah

Ini adalah perintah untuk berlaku adil dan menyempurnakan takaran dan timbangan-timbangan dengan adil tanpa memangkas ataupun menguranginya. Dari konteks umum ayat di atas dapat diambil faidah, adanya larangan dari berbagai bentuk penipuan dalam masalah harga, barang dan obyek yang sudah disepakati, dan (kandungan) perintah untuk tulus dan jujur dalam bermuamalah. “Itulah yang lebih utama (bagimu),” daripada berbuat tidak demikian “dan lebih baik akibatnya,” lebih baik akibat kesudahannya. Dengan itu, seorang hamba selamat dari berbagai tuntutan pertanggungjawaban dan berkah pun akan turun.

B. TAFSIR QS. AN-NISA AYAT 58

 Q.S An-Nisa’ :58


إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.

Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa setelah fathul Makkah (pembebasan makkah), Rasulullah SAW,memanggil ‘Utsman Bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah.Ketika Utsman datang menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu,berdirilah al-Abbas seraya berkata; ya Rasulullah,Demi Allah,serahkan kunci itu kepadaku. Saya akan rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan). Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabda Rasulullah:”berikanlah kunci itu kepadaku,’wahai Utsman!”Utsman berkata:”inilah dia,amanat dari Allah,”maka berdirilah Rasulullah untuk membuka ka’bah kemudian keluar thawaf di Baitullah.lalu turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada Utsman,Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca Ayat tersebut diatas (QS.4 an-Nisa’;58) 

1. Tafsir al-Mishbah (M. Quraish Shihab)

Menurut M. Quraish Shihab QS. An-Nisa ayat 58 di atas menggunakan bentuk jamak dari kata amanat. Hal ini bukan sekadar sesuatu yang bersifat material, tetapi juga non material dan bermacam – macam. Ada amanat manusia dengan Allah, antara manusia dengan manusia, dan dengan dirinya sendiri. Masing – masing memiliki rincian, dan setiap rincian harus dipenuhi, walaupun seandainya amanat yang banyak itu hanya milik seorang. Ketika memerintahkan untuk menetapkan hokum dengan adil, ayat ini memulainya dengan menyatakan; apabila kamu menetapkan hokum di antara manusia. Tetapi sebelumnya, ketika memerinthkan menunaikan amanat, tetapi tidak ditemukan. Ini mengisyaratkan bahwa setiap manusia telah menerima amanah secara potensial sebelum kelahirannyadan urge sejak akul baligh.

2. Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim 

Menjelaskan sebagai berikut : “Allah SWT memberitahu bahwa dia memerintahkan hamba-hambanya menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, sebagaimana sabada rasulullah; sampaikanlah amant kepada yang berhak menerimanya dan janganlah engkau menghianati orang yang telah menghianatimu (riwayat Ahmad dan ahli Sunnah) kata amanat dalam ayat ini menjangkau amanat yang dipesankan oleh Allah SWT dan hamba yang bersangkutan, dan amanat yang diterima oleh seseorang dari sesamanya seperti titipan- titipan yang disertai dengan atau tanpa bukti. Semuanya itu diperintahkan oleh Allah SWT agar ditunaikannya. Karena jika tidak akan diambilnya dari padanya di hari kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw : Tunaikanlah amanat – amanat itu kepada yang berhak menerimanya, sehingga kambing yang tidak bertanduk diberi hak membalas kambing yang bertanduk. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Abdullah binMAs’ud yang bercerita : “ucapan Syahadat menebus segala dosa kecuali amanat yang dikhianati.”  

3. Tafsir ath-Thabari (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari)

Sesungguhnya Allah telah memerintahkan seorang yang diberi kuasa (pemimpin) untuk melaksanakan apa yang telah dipercayakan kepadanya berupa tanggung jawab untuk dijalankan dengan baik sesuai perintah Allah. 

4. Tafsir al-Maraghi (Ahmad Mustofa)

Menurut  tafsir al-Maraghi amanah dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : Amanah seorang hamba kepada Allah, yaitu segala sesuatu yang diberikan Allah yang haruslah dijaga dan dipelihara dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, mengamalkan segala yang disyariatkan dalam bidang yang bermanfaat dalam mengakan hokum. Amanah seorang hamba kepada manusia lainnya, yaitu orang yang diserahi tugas, maka harus konsisten dalam mengamban amanah yang harus diberikan kepada pemiliknya tanpa mengurangi, menjaga rahasia dan menjadi hak orang yang berhak. Amanah terhadapa diri sendiri, yaitu tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri, kecuali melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kemashlahatan hidup.

C. KETERSAMBUNGAN ANTARA QS. AL-ISRA AYAT 35 DAN QS. AL-NISA AYAT 58

Amanah dapat memperlancar bisnis, Allah telah menjadikan amanah sebagai salah satu sikap hamba-Nya yang shaleh dan menjadikan kekasih-Nya. Sedangkan, orang – orang yang mengkhianati amanat di hari ini akan mendapat balasan di hari akhir.

Allah juga menjadikan amanah menjadi pertanggungjawaban kepada-Nya walau sekecil apapun amanat itu, Allah juga akan memberikan ampunan, pahala yang besar, urge dan ridho-Nya terhadap orang yang memegang syariah dan menjalankan amanat. Sebaliknya yang menelantarkan, mengikari, dan menolaknya akan ditampakkan azab atasnya.

Menyempurnakan takaran dan kejujuran dalam timbangan merupakan amanat dalam pergaulan dan bukti kesucian dalam hati nurani.  Adil dan amanat dalam berbisnis akan mendapatkan keuntungan, dan mendapatkan kejernihan hati karena berhasil mengantarkan bisnisnya lebih tinggi dari keduniaan belaka.

Sifat rakus dan pengurangan takaran & timbangan adalah bukti adanya moralitas yang kotor dan hina, selain itu merupakan penipuan dan pengkhianatan yang akan mengurangi rasa saling percaya.

Kejujuran dan memegang amanat sangat penting apalagi dalam hal berbisnis atau ekonomi, jika orang yang mampu berbuat haram namun meninggalkan hal tersebut karena takut kepada Allah, maka akan mendapatkan ganti rugi yang lebih baik dari perbuatan haram yang akan dilakukan  di akhirat kelak.

D. IMPLEMENTASI QS. AL-ISRA AYAT 35 DAN QS. AL-NISA AYAT 58

Allah telah menegaskan bahwa sifat jujur dan adil harus diterapkan dan harus dimiliki pada sifat pemimpin. Dalam berbisnis pun telah dilarang untuk berbuat curang, mengurangi tkaran dan timbangan, dan tetap berperilaku amanah. Penerapan dari kedua surat tersebut dalam kehidupan sehari – hari yaitu :

1. Menyempurnakan timbangan pada kegiatan bisnis yang dilakukan

2. Tidak mengurangi takaran dan adil saat melakukan kegiatan bisnis sesuai yang diperintahkan Allah SWT.

3. Apabila berbicara haruslah benar, tidak pernah berdusta dan sesuai antara perkataan dn perbuatannya. Misalnya, saat bercerita kepada seseorang bahwa kita telah melakukan umrah 3 kali, dan kenyataannya memang seperti itu, tidak ada yang ditambahkan.

4. Jika mengikari akan hilang rasa percaya orang lain terhadap kita. Misalnya, kita membenarkan kepada seseorang atau kepada teman kita untuk mengerjakan tugas, namun kenyatannya kita tidak mengarajkan tugas dan malah berjalan – jalan.

5. Jika mendapat amanah maka harus segers disampaikan sesuai yang telah diberitahukan.



Opini tentang tema diatas yaitu : 

 Dalam berbisis harus memiliki sifat jujur dan amanah. Kejujuran dalam menakar(menimbang) suatu barang. Dalam aktifitas bisnis, takaran (al-kail) biasanya dipakai untuk mengukur satuan dasar ukuran isi barang cair, makanan dan berbagai keperluan lainnya. Sedangkan timbangan (al-wazn) dipakai untuk mengukur satuan berat. Takaran dan timbangan adalah dua macam alat ukur yang diberikan perhatian untuk benar-benar dipergunakan secara tepat dan benar dalam perspektif berbisnis.

Kemudian dalam berbisnis juga harus bersifat amanah karna dapat memperlancar bisnis Apabila berbicara haruslah benar, tidak pernah berdusta dan sesuai antara perkataan dan perbuatannya. Jika mengikari akan hilang rasa percaya orang lain terhadap kita. Jadi jika mendapat amanah maka harus segers disampaikan sesuai yang telah diberitahukan. Allah telah menjadikan amanah sebagai salah satu sikap hamba-Nya yang shaleh dan menjadikan kekasih-Nya. Sedangkan, orang – orang yang mengkhianati amanat di hari ini akan mendapat balasan di hari akhir. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir QS. Al-Hasyr Ayat 7

Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 245